Minggu, 17 Mei 2009

Opera Televisi

Rasa rindu, senang, dan haru
Melebur menjadi satu
Melihat ayahanda pulang
Menjinjing sebuah kardus merah muda
Beliau menghampiriku, tersenyum
Seraya memberikan semua hasil jerih payahnya hari ini
Termasuk kardus cantik itu
Aku pun dibuatnya tertegun
"Mungkinkah ini hanya sebuah mimpi?" heranku dalam hati
"Bukan!"
Inilah gerbang realita yang terbuka karena impian semusim
Kupandang, kutimang, lalu kubuka kardus mungil itu
Tuk pertama kalinya kudapat hadiah dari ayah
Di hari ulang tahunku
Kudapatkan sesuatu yang sangat berharga
Luar biasa dan tak mungkin terlupa
Televisi ...
Isi hadiah ulang tahunku
Bertenaga baterai aki
Berwarna hitam putih
Layaknya barisan semut dinding
Tak apa
Kini kurengkuh kunci yang akan membuka tirai dunia
Berkelana melintas dunia
Akan kugenggam erat berbagai informasi dari belahan dunia
Dengan semangat menggebu
Kupasangkan baterai aki televisiku segera
"Zeep..."
Berhamburan bunyi dan gambar hidup menyerupai sengatan listrik
Lalu wajah-wajah itu,
Lengkap dengan suara yang khas para politisi
Wajah-wajah itu menggodaku menambatkan mata
Tak asing
Karena wajah-wajah itu banyak terpampang di koran
Termasuk menjadi "penghias" tata kota Jakarta
Di jembatan, di pohon, di angkot, dan berserakan di pinggir jalan
"Bersama kita bisa! Lanjutkan"
Berkumandanglah kredo itu ke seluruh pelosok negri
"Perubahan? Pilih nomor satu!"
Bergemalah syair menembus ulu hati penghuni pertiwi
Meninabobokkan masyarakat, menghipnotis jutaan rakyat
Bukan hanya janji-janji
Berita koalisi partai hingga kasus pembunuhan yang menyeret nama pejabat kian marak
Membuat semua stasiun televisi berlomba
Menyiarkan berita aktual, faktual, juga heboh yang digali dari penjuru negri
Aku terdiam sejenak, terpana
Di luar sana para politisi terus bersanding yang sebenarnya bersaing
Memperebutkan tahta istana
"Bagaimana dengan sekitarku?"
"Apakah dipedulikan mereka?"
Diriku masih terdiam
Menatap tajam layar kaca
Walau telah berjam-jam lamanya
Meluncur sebuah berita yang semakin membelalakkan mataku
"Milyaran rupiah akan kami keluarkan demi memuluskan jalan menuju istana!"
Astaagfirullah, sebesar itukah pengorbanan mereka?
Lalu kalau mereka sudah menguasai istana? Hmm...
Sedang aku dan keluargaku
Bertahun-tahun memeras keringat untuk sesuap nasi
Namun di luar sana
Mereka begitu mudah menghamburkan uang
Nasib, nasib
Kapan mereka akan memikirkan kami?
Jutaan rakyat Indonesia
Haruskah kami bertahan selamanya di bawah garis kemiskinan?
Kapan perubahan itu akan terjadi?
Perubahan yang dibutuhkan dari sebuah negara yang haus
Haus akan kesejahteraan dan kemakmuran
"Cukup!" teriak batinku
Kumatikan segera televisi hitam putihku
Beranjak pergi meraih sehelai kain tuk jadikan selimut
Dan menggelindingkan tubuhku tidur beralaskan koran di bawah naungan kardus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar